SEKILAS BIOEKOLOGI TERUMBU CORAL
Sebelum wajah pantai Manado diubah dengan pembuatan jalan ‘boulevard' dilanjutkan dengan dimulainya reklamasi di tahun 1997, beberapa lokasi seperti pantai Bahu (Bahu mall) sampai pantai Panglima (MCC); kemudian pantai Pondol (kawasan Megamal) sampai belakang kantor Pertamina adalah merupakan lokasi rekreasi wisata bahari gratis masyarakat Manado. Masih segar dalam ingatan penulis pertama kali belajar berenang (tahun 1980-umur 6 thn) di pantai Bahu dulu masih bisa ditemui terumbu coral, demikian pula di kawasan pantai Pondol terutama lepas pantainya (belakang Mega Mall sekarang) memang SUDAH ada 'taman laut kecil' sejak dahulu kala dibuktikan juga dengan adanya 'tiang penanda' diatas ‘napo' (terumbu) tersebut. Terumbu tepi pantai (fringging reef) ini, berjarak sekitar 660 meter vertikal dari jalan Bulevard ke arah laut. Luasnya reklamasi pada areal ini memanjang sampai pada daerah ‘napo' yang relatif dangkal. Fondasi pada lahan reklamasi Mega mall dan sebagian Bahu mall relatif kuat dibanding areal lain tak lepas dari adanya terumbu pantai yang ada di depannya. Tidak terlihat sepenuhnya ujung areal ‘napo' ini ditimbun, dan ini menyisakan sebagian kecil area bagi hewan coral untuk bisa bertahan ‘survive' disitu ‘terjepit' diantara bebatuan konkrit bagian luar dan bagian dalam - marina Mega mall. Demikian pula areal terumbu lain yang tersisa di Bahu mall. Mengembirakan namun tidak mengherankan lewat proses alami setelah kurang-lebih 5 tahun (2001) dan 10 tahun saat ini pasca reklamasi terjadi lagi 'rekruitmen-rekolonisasi', sexual maupun aseksual (fragmentasi/kemungkinan pertumbuhan dari tunas coral yang patah) menghasilkan coral-coral muda, bertumbuh dan meningkat tutupannya.
Mengingat proses dalam settlement coral sejak ‘spawning' sampai melekatnya (attached) ‘planula', bermetamorfosis pada substrat dipengaruhi berbagai faktor oseanografi dan juga faktor internal planula itu sendiri terutama dalam ‘preferensi‘ substrat yang cocok (bebatuan, konkrit beton, dll) menghasilkan non-random distribusi. Maka berbagai kemungkinan pasti muncul, apalagi jika terdapat substrat baru (bebatuan) dan faktor pembatas lainnya terpenuhi. Dimulailah recruitment (sexual) dari coral induk broder maupun broadcaster yang ada tersisa disekitar situ (local scale) maupun kemungkinan recruitment lain dari induk coral di luar areal ini (larger-wide scale) misalnya dari Malalayang, Tanjung Pisok ataupun Bunaken. Perlu penelitian untuk memastikan pola spatial-dispersal larva planula coral, dan belum terlambat untuk menguji apakah recruitment di bebatuan reklamasi berasal dari induk sekitar situ atau bukan. Hal ini membantu memperjelas dan menguji relefansi teori ‘supply-side ecology' (Lewin 1986) secara keseluruhan. Komposisi berdasarkan tipe fertilisasi coral tidak cukup dijadikan patokan/bukti bahwa coral baru berasal dari induk luar. Rasanya sangat kurang dan tidak lengkap apabila kita berbicara tanpa bukti-data, menginterpetasi apalagi tidak mengetahui ‘data base' sebelumnya mengenai komposisi coral disitu pra-reklamasi.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai struktur komunitas coral di daerah reklamasi teluk Manado (Dien, dkk 2001) khusus areal Mega mall pada 2 kedalaman-substrat berbeda didapati genus Acropora memiliki tutupan/frekwensi tertinggi di bebatuan reklamasi (<3>5 meter) didapati terdapat 27 genus coral yang 'survive' katakanlah 'terjepit' dengan tutupan tertinggi pada genus Porites, Acropora, Stylocoeniella dan Pocillopora. Perbandingan komposisi genus antara 2 kedalaman dengan substrat berbeda, ukuran dan tutupan coral selain memberi bukti bawa memang terdapat terumbu coral di lokasi ini sebelumnya juga menunjuk pada besarnya peluang bahwa coral muda pada substrat bebatuan reklamasi berasal dari induk coral lokal sekitar situ. Acropora merupakan komponen penyusun utama terumbu coral Indo-pasific, pioner karena pertumbuhannya yang cepat. Beberapa genera pembentuk terumbu yang penting juga termasuk Pocillopora, Pavona dan Goniopora. Sehubungan dengan tipe reproduksi sexual coral, perlu diperjelas bahwa genus Acropora tidak semuanya spawners/broadcasters type (external fertilization), Acropora cuneata dan A. palifera misalnya merupakan brooder species sama halnya dengan Pocillopora damicornis, Seriatopora hystrix, dan Stylophora pistillata. Demikian pula dengan genus Pocillopora tidak semuanya brooder types (internal fertilization), Poccilopora meandrina misalnya adalah spawner/broadcaster species sama dengan Acropora hyacinthus, A. cytherea, A. valida dan A. Millepora.
Mengingat penelitian sebelumnya pengindentifikasian hanya sampai pada tingkat genus, maka identifikasi pada tingkatan species akan memberi informasi lebih mengenai prosentase dan peluang antara kedua type fertilisasi coral tersebut. Informasi penting lain yang bisa dijelaskan mengapa Acropora dan Pocillopora muda sukses melekat pada bebatuan reklamasi dapat mengacu pada hasil penelitian tingkat ‘survive‘ settlement larva coral Acropora millepora (broadcaster/spawner type) (Babcock-Davies 1991) dan Pocillopora damicornis (brooder type) (F.T.Te 1992). Sangat menarik karena ternyata sedimentasi yang tinggi tidak mempengaruhi proses settlement planula coral kedua jenis tersebut. Mengacu pada hal ini, beralasan jika kedua jenis coral ini bertahan dan sukses melekat pada substat walaupun sedimentasi akibat reklamasi sangat tinggi. Masing-masing spesies coral memiliki kelebihan tertentu dalam menghadapi tekanan/stress dari lingkungan di luar batasan hidupnya. Umumnya coral dengan bentuk pertumbuhan branching (seperti Acropora dan Pocillopora) lebih ‘survive' bertahan terhadap sedimentasi dibanding ‘coral massive'. Contoh lain dapat ditemui juga di teluk Minamata, beberapa jenis coral dapat bertahan hidup dari sedimentasi yang tinggi akibat aktifitas reklamasi menutupi dasar perairan yang tercemar mercury.
DIVE SPOTS ‘HOUSE REEF' MANADO
Seiring popularnya olahraga selam SCUBA dan diperkenalkannya Taman Nasional Bunaken ke dunia internasional sejak awal tahun 1980, kurang-lebih 20 tahun pariwisata bahari Sulut terkonsentrasi disitu. Bunaken menjadi salah satu icon wisata selam dunia. Turis berdatangan, cottage-resort dan operator diving bertambah, terutama justru di dalam kawasan konservasi seperti pulau Bunaken . Lebih dari 50 persen operator diving/resort/hotel dimiliki ‘orang asing' dengan homebase di TN Bunaken. Mengejar keuntungan dengan memanfaatkan langsung obyek yang alami namun sebenarnya rentan. Saat ini, ‘carring capacity' terutama di pulau Bunaken telah terlampaui. Diperparah lagi dengan tidak adanya pengaturan jadwal kunjungan turis ke ‘dive spots' yang popular terkonsentrasi apalagi di saat ‘peak season'. Alternatif-jalan keluar lain diperlukan segera untuk mengurangi tekanan terhadap Taman Laut Bunaken yang alami. Beberapa operator diving gencar mencari dive spots baru yang berpotensi dan ‘berdaya jual'. Sebenarnya di pesisir Manado tersebar lebih dari 10 spot dan 3 diantaranya justru berada di jantung kota, menyimpan potensi sebagai 'taman laut mini' yaitu :
(1) Terumbu sekitar-depan marina Mega mall, lokasi ini sebenarnya tidak terabaikan dan telah dimanfaatkan terutama oleh Blue Banter sebagai ‘house reef'. Sejak tahun 2004 keberadaan lokasi ini telah dikenal dan dimanfaatkan beberapa ‘diving centre' yang umumnya memiliki 'base' di pesisir Manado (www.asiadivesite.com, www.asiandiver.com). Taman laut kecil ini yang memiliki lebar kurang-lebih 200m telah dikenal justru dengan nama Bruce's point-reclamation area. Pada spot ini highligths organisme yang menarik ditemui adalah berbagai macam nudibranch seperti Spanish dancers, berbagai kepiting dan udang pada coral, spider crabs dan berbagai asosiasi organisme yang unik/menarik. Dapat ditemui juga clearfin lionfish (Pterois radiata) satu-satunya lionfish dengan garis horizontal pada pangkal ekornya dan juga Sleepy ghost pipefish pada feather star. Lokasi ini juga telah dikenal untuk variasi Night Diving maupun Muck Diving seperti halnya Lembeh menarik bagi macro underwater fotografer.
(2) Patchy reef (napo kranjang) belakang Mantos sekitar 500 meter ke arah laut vertikal. Berjarak kurang lebih 1.5 km ke selatan dari spot sebelumnya. Terumbu coral disini unik karena bentuk topografinya sama dengan gunung kecil bawah laut dari kira2 kedalaman sekitar 50 meter naik ke atas sampai puncaknya sekitar 5 meter disaat air surut. Coral disitu memang didominasi Seriatopora hystrix dan solitary coral dari family Fungia yang memang berbeda dengan dengan di Mega mall. Type terumbu yang berbeda antara patchy reef dan fringing reef tentunya juga turut mempengaruhi-menentukan komposisi spesies coral. Demikian pula proses ‘settlement' dan preferensi planulae coral terhadap substrat yang pasti berbeda. Lokasi ini sangat menantang bagi para diver, menyelam di perairan terbuka sekaligus mengamati keunikan topografi bawah air, sightseing berbagai jenis ikan yang bergerombol pada puncaknya.
(3) Di belakang Bahu Mall (relatif lebih kecil lagi dibanding 2 lokasi sebelumnya), berpotensi mengingat terumbu coral disitu juga masih bisa bertahan hidup. Sebenarnya apabila di sekitar lokasi ini sampai di depan MCC (tanpa menutupi jalan masuk publik dari arah laut ke marina Bahu mall) dikembangkan dengan meng'install' kombinasi beberapa modul baru seperti artificial reef apapun substrat/bentuknya maka berpotensi menjadi ‘dive spot' menarik.
Beberapa spot lain dari wilayah Malalayang sampai Tateli ataupun di Manado bagian utara sampai ke Tanjung Pisok (batas wilayah TN Bunaken) ‘gap' yang tidak memliki spot alias tidak memiliki apa-apa bisa dikembangkan artificial reef sebagai alternatif; lepas dari beberapa lokasi yang memang telah alamiah ada dan telah berhasil dikembangkan beberapa opeator selam yang berbasis di pesisir Manado seperti: (4) Molas wreck, (5) 'Small Lembeh' depan NDC - Baracuda, (6) Napo Serio, (7) Batu Hitam (black rock), (8) Celebes dan (9) Murex house reefs, (10) Lab.Underwater Ecotourism Politeknik house reef sampai house reef di Mokupa (11-12) Lumba Lumba house reef, Tasik Ria-Minahasa Prima Resort). Di kalangan Divers khususnya dive guide beberapa spot sepanjang pesisir Manado memang memiliki ‘selling point' memadai untuk 'underwater sighseeing' yang cukup dapat diakses dengan menyelam normal-aman (bukan mengejar Coelecanth yang hidup dibawah 100 meter). Lokasi-lokasi ini juga bisa menjadi indikator TN Bunaken, sebagai daerah penyanggah/filter, misalnya dari masukan/tekanan akibat aktifitas manusia ataupun sampah di/dari Manado sebelum ke TN Bunaken. Disamping itu tentunya merupakan alternatif lain untuk 'excursion' (paket perjalanan diving) sebelum ke lokasi tujuam utama untuk menghindari terlampaunya carrying capacity.
Aktifitas selam rekreasi tak hanya membutuhkan daerah terumbu coral yang memang telah ada di alam, banyak macam struktur tiga dimensi yang atraktif tersedia dan bisa dibuat seperti ‘wreck' atau terumbu buatan. Biorock misalnya lewat proses electrodeposition mempercepat pertumbuhan coral dan organisme lainnya. ‘Reef ball' ataupun terumbu buatan lainnya yang memiliki banyak pilihan bentuk. struktur dan tipe substrat termasuk bebatuan. Lewat terumbu buatan, modul belajar dalam prosedur penyelaman dapat didesain atau disesuaikan dengan keadaan lingkungan/topografi dimana tersedia berbagai kebutuhan seperti untuk tempat training penyelam, rekreasi, tempat pendidikan lingkungan sekaligus upaya rehabilitasi dan restorasi terumbu. Kombinasi beberapa modul produksi menjadi taman buatan bawah air-taman laut mini (house reef) dapat dibentuk secara baik sebagai fungsi DAD (Diver Aggregation Devices). Prinsipnya keinginan mendasar yang mempengaruhi seorang menjadi turis/penyelam harus diketahui. Syarat kepuasan menyelam adalah petualangan memasuki daerah lain yang tidak sepenuhnya terjangkau, menikmati kebebasan daya tarik bumi (gravitasi) kemampuan bergerak dalam alam tiga dimensi. Pemandangan topografi yang menarik seperti struktur terumbu atau unit lain yang bisa diamati secara tiga dimensi. Jika pemandangan ini ditambah dengan organisme berwarna-warni dan unik-langka akan lebih atraktif, pada puncaknya organisme besar dan liar yang berpotensi bahaya dapat diamati maka pengalaman tersebut akan terasa lengkap dan bermakna. Merujuk pada kebutuhan tersebut sebagai syarat, maka pasti 90 persen dapat dipenuhi lewat pemandangan bawah air buatan (artificial).
Pengadaan yang mudah dan benar adalah dengan meng'install' struktur dan substrat yang cocok secara ekologis menempatkannya pada lokasi yang tidak terdapat terumbu, relatif monoton dengan pasir atau pada lokasi yang memang telah rusak. Operator diving/diving centre akan memiliki keuntungan dengan menempatkan modul artificial di depan atau dekat dengan pinggiran pantai yang menjadi base-nya (kecuali operator di TN Bunaken). Selain membatasi kunjungan ke terumbu alami, melengkapi DAD, mendiversifikasi produk dengan excursion berbeda, keuntungan operasional dapat diperoleh dengan akses yang dekat. Sebagai tempat pendidikan dan pelatihan selam yang rutin menawarkan keragaman lain secara biologi dan estetika sekaligus merehabilitasi dan merestorasi terumbu (ecotourism yang sebenarnya). Desain struktur buatan haruslah diadopsi khusus sesuai prosedur kebutuhan olahraga selam dengan syarat utama tersedianya substrat yang cocok bagi kolonisasi hewan coral serta berbagai organisme terumbu untuk hidup. Banyak pilihan modul yang tersedia, tujuan yang ingin dicapai: (1) Mengurangi tekanan aktifitas penyelaman pada terumbu alami dengan alternatif buatan; (2) Menerapkan metode ramah lingkungan dalam membuat struktur yang cocok; (3) Penggunaannya untuk rehabilitasi/restorasi atau meningkatkan habitat organisme dengan menyediakan substrat yang cocok bagi pelekatan (settlement) organisme terumbu (4) Mempercepat formasi komunitas terumbu dengan mentransplantasi hewan coral pada bangunan buatan (5) Mengintegrasikan dan mensosialisasikan taman buatan tersebut pada sistem pendidikan lingkungan dan pengelolaan pesisir. Komposisi taman laut buatan secara khusus dapat didesain sesuai modul bagi peruntukkannya seperti tempat training penyelam dengan kedalaman yang cocok, pendidikan lingkungan bawah air dengan jejak bawah air dan rehabilitasi dengan akses terbatas. Dengan demikian tekanan turis/penyelam pada terumbu alami bisa dibatasi sekaligus mengantisipasi kecenderungan konsep pembangunan yang ada dari mass tourism ke arah eco tourism.
WOC 2009 - MKPD 2010
Sehubungan dengan agenda WOC - MKPD yang pada akhirnya diharapkan memberi keuntungan multiplier effect bagi masyarakat, maka langkah strategis yang tepat dilakukan pemerintah adalah :
1. Menginventarisir-memetakan secara menyeluruh potensi terumbu coral dan organisme lainnya termasuk spot2 potensial bagi perlindungan populasi ‘coelecanth' di pesisir Manado. Hal ini dilakukan terutama terkait erat dengan kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, perlu-tidaknya suatu areal direklamasi.
2. Pembuatan artificial reef (bukan reklamasi) pada beberapa spot yang relatif ‘tidak bernilai' di pesisir Manado sebagai house reef berbasis masyarakat, spot2 artificial ini digunakan sesuai kepentingannya, misalnya untuk diving ataupun untuk lokasi pemancingan. ‘Investasi' berupa artificial reef ini dapat memanfaatkan ‘environment responsibility cost' dari para pengembang reklamasi.
3. Penetapan Manado House Reef dari beberapa terumbu alami, semi alami yang telah ada sebagai Daerah Perlindungan Laut (DPL) aset kota yang dikelola-diatur pemerintah kota, dimanfaatkan-digunakan bagi kepentingan masyarakat. Perangkat dan peraturan perundang-undangan bisa mengadopsi beberapa DPL di luar Manado yang dianggap berhasil dengan tetap memposisikan- berpihak kepada masyarakat umum.
4. Kawasan marina Mega mall yang strategis di jantung kota Manado dapat dijadikan Aquamarine Centre yang memiliki banyak fungsi sebagai spot diving di bagian luarnya, akuarium terkontrol di bagian dalam sekaligus dilengkapi museum bahari yang berisi sarana eco-wisata sekaligus sumber pendidikan perikanan-kelautan. Museum ini tidak hanya menempatkan misalnya specimen ‘coelacanth' saja namun dapat menjadi museum hidup coral dan organisme lainnya. Kawasan ini dapat dijadikan perkantoran, sebagai icon landscape Manado, base bagi pusat sistem jaringan antar wilayah perlindungan laut dunia (Centre of Coral Tiangle Seascapes / Marine Protected Area Network.
Langkah-langkah tersebut secara global akan sejalan dengan agenda WOC jika kita melirik ecobiogeografi Sulut. Agenda WOC diharapkan tak hanya mengulangi komitmen-komitmen serupa masyarakat dunia lewat pertemuan/konferensi semata yang menghasilkan secarik kertas deklarasi. Bercermin pada agenda-agenda sebelumnya yang sebenarnya dianggap gagal, moment WOC diharapkan memberi terobosan baru memulai sesuatu yang memberikan kesadaran sekaligus keuntungan bagi masyarakat. Mempertegas komitmen akan upaya konservasi dengan : (1) menetapkan berbagai daerah perlindungan laut (DPL) lokal sampai pada skala besar seperti segitiga kawasan Bunaken -Talise (Likupang) - Lembeh sebagai daerah perlindungan ‘world herittage' warisan dunia, serta (2) menjadikan Sulut sebagai pusat dari sistem jaringan antar wilayah perlindungan laut dunia (Centre of Coral Tiangle Seascapes / Marine Protected Area Network) karena letaknya yang sangat strategis. Hal ini tentunya harus diikuti dengan penerapan nyata di segala aspek terutama hukum dan politik. Kebijakan dan peraturan sampai pada perangkat hukum diharapkan bertitik tolak lewat isu lingkungan. Peraturan/UU pesisir dan laut yang pernah pernah digagas Sulut misalnya dapat diangkat kembali menjadi isu global. Dalam mengejar impian di sektor pariwisata (MKPD 2010), WOC 2009 dapat juga menjadi moment penting pendeklarasian pemanfaatan yang optimal (bukan maksimal) bagi industri pariwisata lewat Eco-tourism (wisata ekologi) - berbasis masyarakat.
Keberlangsungan dan upaya konservasi, potensi yang ada di pesisir Manado sangat tergantung pada perilaku masyarakat memperlakukan lingkungan lautnya, stakeholders terutama pemerintah sebagai penentu kebijakan. Relefansi dengan pengelolaan TN Bunaken, pemerintah kota seharusnya bertindak dengan bijak dengan tidak selalu bergantung hanya pada obyek ini. Evaluasi memang diperlukan terutama berhubungan dengan ‘carrying capacity' TN Bunaken yang telah terlampau. Ironisnya yang terjadi selagi keuntungan ekonomi dikejar, perhatian terhadap nilai ekologis TN Bunaken yang belum sembuh dari serangan ‘pumparade' (CoTS-hewan pemakan coral) tetap diabaikan. Mengancam kelestariannya di masa mendatang, icon Bunaken ataupun ‘Coelecanth' tidak lama lagi akan berganti dengan icon baru: ‘Pumparade'. Evaluasi, diversifikasi dan kembangkan potensi pesisir yang dimiliki, menabung berbagai ‘gap' yang kurang lewat artificial reef sebagai house reef masyarakat Manado (‘napa!' bukang ‘mana!?'). Tidak hanya memikirkan keuntungan sesaat namun lestari antar generasi. ‘Trickle down' bagi masyarakat dari sektor pariwisata, perikanan-kelautan, keuntungan sumber makanan/obat2an sampai pada keuntungan nilai proteksi daerah pesisir. Melewati WOC 2009 -MKPD 2010 menuju impian kemakmuran yang dicita-citakan ... rasanya memang belum terlambat.
Pemuatan artikel: .. Potensi-Strategi ...dst seharusnya menaruh nama penulis/sumber-nya. Hormati hak cipta, jangan asal comot!
BalasHapusSalam