Kamis, Februari 12, 2009

Rencana Perjalanan Pengambilan NPA periode 08

Sabtu 14 Februari 2009

05.00 - 06.00 Giwangan
06.00 - 10.00 Perjalanan dari giwangan ke Madiun
10.00 - 12.00 Perjalanan dari Madiun ke Ponorogo
12.00 - 14.00 Perjalanan dari Ponorogo ke Trenggalek
14.00 - 15.00 Perjalanan Dari Trenggalek menuju Basecamp Mbah Jaimun.
15.00 - Istirahat

Minggu 15 Februari 2009

05.00 - 06.00 Bangun dan MCK
06.00 - 07.00 Persiapan dan perjalanan menuju goa.
07.00 - 08.00 Persiapan Explore
08.00 - 12.00 Explore Goa Vertikal
12.00 - 13.00 Istirahat
13.00 - 17.00 Explore Goa Horizontal
17.00 - 17.30 Balik ke Basecamp
17.30 Evaluasi di teruskan istirahat

Senin 16 Februari 2009

05.00 - 06.00 Bangun dan MCK
06.00 - 07.00 Persiapan dan perjalanan menuju goa.
07.00 - 08.00 Persiapan Explore
08.00 - 12.00 Explore Goa Vertikal
12.00 - 13.00 Istirahat
13.00 - 17.00 Explore Goa Horizontal
17.00 - 17.30 Balik ke Basecamp
17.30 Evaluasi di teruskan istirahat

Selasa 17 Februari 2009

07.00 - 09.00 Persiapan dan pamitan
09.00 - 10.30 Perjalanan dari Basecamp ke trenggalek
10.30 - 13.00 Perjalanan dari Trenggalek menuju Blitar
13.00 - 14.30 Perjalanan dari Blitar menuju kepanjen
14.30 - 15.00 Perjalanan dari Kepanjen menuju Pagak(lembah kera)
15.00 - Istirahat

Rabu 18 Februari 2009

05.00 - 06.00 Bangun dan MCK
06.00 - 07.00 Persiapan dan pemanasan pemanjatan
07.00 - 16.00 Pemanjatan Artificial
16.00 - 17.00 Istirahat
17.00 - Evaluasi

Kamis 19 Januari 2009

05.00 - 06.00 Bangun dan MCK
06.00 - 07.00 Persiapan dan pemanasan pemanjatan
07.00 - 12.00 Pemanjatan Artificial
12.00 - 13.00 Istirahat
13.00 - 14.00 Pamitan
14.00 - 17.00 Perjalanan dari kepanjen menuju Basecamp sungai kasembon
17.00 - 19.00 Istirahat
19.00 - Evaluasi

Jumat 20 Januari 2009

05.00 - 06.00 Bangun MCK
06.00 - 07.00 Persiapan
07.00 - 08.00 Persiapan dan pemanasan
08.00 - 14.00 Pengarungan
14.00 - 15.00 Bersih-bersih
15.00 - Evaluasi

Sabtu 21 Januari 2009

05.00 - 06.00 Bangun dan MCK
06.00 - 07.00 Persiapan dan Packing
07.00 - 09.00 Basa-basi dan Pamitan
09.00 - 12.00 Menuju Tretes
12.00 - 14.00 Belanja Logistik
14.00 - Istirahat

Minggu 22 Januari 2009

05.00 - 06.00 Bangun dan MCK
06.00 - 07.00 Persiapan pendakian
07.00 - 16.00 Perjalanan pendakian
16.00 - Evaluasi dan Camp hari I

Senin 23 Januari 2009

05.00 - 07.00 Packing dan persiapan muncak Arjuno
07.00 - 09.00 Perjalanan Muncak Gunung Arjuno
09.00 - 16.00 Perjalanan menuju puncak Gunung Welirang
16.00 - 17.00 Istirahat di pondok welirang
17.00 - Evaluasi dan Istirahat

Selasa 24 Januari 2009

05.00 - 07.00 Packing
07.00 - 16.00 Perjalanan turun ke purwosari
16.00 - 17.00 Istirahat
17.00 - Evaluasi

Rabu 25 Januari 2009

05.00 - 07.00 Packing
07.00 - 16.00 Perjalanan menuju Jogja
15.00 - Evaluasi

Acara Tasyakuran Hari Ulang Tahun PALAFNE 21

Jumat 13 februari 2009

19.00 mulai
19.00-19.30 pembukaan & sambutan
19.30-19.45 berdoa bersama
19.45-20.00 potong tumpeng
20.00-21.00 makan malam
21.00-selesai acara bebas

Senin, Februari 09, 2009

Refleksi Tentang Waktu










Rentang waktu
terkadang membuat kita lupa
bahwa kita semakin dewasa

Rentang waktu
terkadang membuat kita lupa
bahwa kita telah melanggar titah Yang Kuasa

Rentang waktu
terkadang membuat kita sadar
bahwa kita hanya manusia
yang tak punya apa-apa
selain jasad yang tak berguna

Rentang waktu
terkadang membuat kita sadar
bahwa Tuhan tidak melihat harta dan rupa
melainkan hati yang ada di dalam dada
dan amal jasad yang lata

Walau Einstein berkata bahwa rentang waktu itu berbeda
tergantung dalam keadaan apa kita berada
Namun Tuhan telah berkata,
“Hanya Akulah yang tahu umur manusia”.

Sekular barat berkata,
“Waktu adalah dollar di dalam kantung”

Namun Hasan Al-Bana berkata,
“Waktu adalah pedang, potong atau terpotong”.

Waktu…..
Alam terus menari dalam simfoninya

Waktu…..
Umur manusia didikte olehnya

Waktu….. setiap detaknya
memakukan kita di persimpangan jalan
jalan Tuhan atau jalan setan

Rentang waktu…..
semoga tak melalaikan kita
tuk terus berjalan di jalan-Nya

Happy Birthday PALAFNE..

Sabtu, Februari 07, 2009

Pernikahan dan Perjalan Mendaki Gunung

Aku sempat berpikir bahwa pernikahan tak ubahnya seperti perjalanan seseorang untuk mendaki gunung. Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum mengatakan “siap” menundukan puncak gunung yang angkuh. Seperti juga pernikahan, seseorang tidak bisa begitu saja mengatakan “siap” menikah sebelum banyak hal bisa ia persiapkan.

Pola pikirku tentang pernikahan, awalnya cukup sulit untuk diajak berdamai dengan konsep yang digembar-gemborkan oleh para Da’i. Bagiku pernikahan tak bisa dilakukan sebelum memiliki ilmu yang memadai, sebelum memiliki kemapanan materi yang akan mencegah kita menjadi beban ekonomi baru bagi keluarga. Jalan pikiranku saat itu sukar ditembus, sekalipun oleh mereka yang sudah bersahabat dekat denganku.

Aku sering bertanya dalam hati, kenapa ada begitu banyak orang yang ingin menikah dengan status sebagai mahasiswa?

Pun, aku sering tak habis pikir ketika ada orang yang menggembar-gemborkan untuk segera menikah di usia sangat muda. Bagiku saat itu, pernikahan seringkali mempensiunkan para aktivis dari aktivitasnya sebelum menikah. Pernikahan seringkali membuat seorang remaja harapan bangsa terhambat untuk menyelesaikan studi formal. Sehingga tak dapat berkontribusi terhadap kemajuan bangsa. Pernikahan tanpa kecukupan materi juga hanya akan menambah deretan panjang masyarakat miskin dan generasi busung lapar yang tak sanggup dibiayai oleh kedua orangtuannya. Karena tadi, tidak cukup materi.

Semua pemikiran itu, cukup membuatku agak malas membicarakan pernikahan dengan status belum mapan (baca: belum berpenghasilan). Yaa. Seperti itulah. Aku sering membandingkan dengan negara-negara maju yang sebagian besar penduduknya non muslim, bisa maju dan berkembang pesat dalam bidang IPTEK. Coba saja lihat, usia kalangan mereka saat menikah!

Jika kita selalu membahas nikah…nikah..dan nikah….siapa yang akan mengejar ketertinggalan itu? Karena pernikahan adalah tanggung jawab baru yang tidak bisa dipandang sepele.

Bagiku pernikaha akan menambah aktivitas baru yang mungkin berat. Khususnya bagi wanita, tentu akan sangat berat meninggalkan rumah dengan kondisi serba tak terurus. Mau diserahkan pada siapa tugas pendidikan tunas-tunas baru (anak-anak kita) jika kita sendiri sibuk kuliah, rapat, dan aktivitas lainnya???

Berkali-kali aku mencoba berdiskusi dengan orang. Berkali-kali pula aku tak menemukan jawaban yang meyakinkan. Aku nyaris tak tergoyahkan dari kalimat-kalimat seperti ini,

“pernikahan itu tidak jauh dengan pendakian ke sebuah gunug. Siapapun yang akan memulai pendakian harus sudah menyiapkan beberapa hal agar dalam pendakiannya ia tidak mengalami kesulitan yang berarti.”

“orang harus tahu ilmu mendaki gunung yang tepat, dari mulai navigasi, cara survival ala pecinta alam, dan tentu saja perbekalan yang cukup sebelum mendaki seperti kondisi tubuh yang fit dan makanan untuk makan beberapa hari”

“orang yang nekat mendaki gunung dengan hanya berbekal kata INGIN, akan menghadapi risiko yang amat tinggi dalam perjalanannya. Jika seseorang yang tidak terlatih menaiki puncak Jayawijaya dengan hanya berbekal kekaguman akan keindahan Jayawijaya, hal itu sama saja dengan merencanakan kematian dengan cara yang konyol!!”

“Ok, dia sudah menyiapkan makanan. Ok, dia pergi dengan tubuh yang fit. Tapi berapa lama?? Tanpa ilmu dan kesabaran yang kuat, semua itu akan menjadi sebuah perjalanan menyambut kematian. Sebab, bisa saja dalam perjalanan cadangan makanan habis. Tanpa pengetahuan untuk membedakan mana jenis tanaman layak makan, beracun, dan tanaman obat…apa bisa mempertahankan hidup hingga selamat kembali ke kaki gunung?”

“Sekarang, ada orang yang tahu tentang jenis makanan alami di pegunungan, tahu cara survival di sana, tapi apabila tidak memahami navigasi……Mau berapa lama ia berputar-putar mengitari hutan di pegunungan untuk sekedar mencari jalan ke sungai atau bahkan jalan pulang?”

Aku mematri pemikiran ini selama bertahun-tahun. Bertahan dengan ego yang tak tergoyahkan. Tanpa sadar, hati sudah sangat ringkih untuk selalu menjadi tempat bersembunyi. Menghindar dari kesejatian fitrah diri, sebagai manusia, sebagai abdi.

Tapi, bukankah Allah Maha Pemberi Petunjuk…..Ia keluarkan seseorang dari kegelapan. Ia tuntun siapapun yang dikehendaki-Nya ke jalan yang benar. Dan aku bersyukur menjadi salah satu diantara yang beruntung mendapat petunjuk-Nya.

Bukan lewat mimpi. Bukan lewat perenungan panjang. Hanya sebuah pertemuan yang rutin aku hadiri. Pertemuan mingguan dengan seorang guru ngaji. Lewatnya lah aku mendapat jalan terang atas segala ketidakpastian selama ini.

Beliau bertutur tentang pernikahan, ketika salah seorang kawan mengungkapakan pandangannya yang nyaris sama denganku. Lalu, Beliau pun menjawab.

“Pernikahan itu tidak harus menunggu segalanya siap. Tidak harus menunggu telah mapan (cukup harta). Karena pernikahan itu menjadi wajib manakala diri sudah tak mampu lagi menyelamatkan dari zina. Kalaupun belum mapan, Allah yang akan memapankan. Kalau belum berilmu, ilmu itu bisa dicari ketika telah menikah. Maka ketika ada konsep bahwa menikah itu hanya boleh dilakukan ketika sudah siap materi, siap ilmu, dan sebagainya…itu salah besar. Siapa yang menjamin bahwa seseorang bisa segera mapan sesuai harapannya sebelum menikah?“

Dalam hati aku nyengir. Dengan sedikit malu aku harus menyadari bahwa pernikahan tak bisa disejajarkan dengan pendakian sebuah gunung terjal, sekalipun pernikahan itu harus selalu dibekali dengan banyak hal. Di antara keduanya ada perbedaan prinsip yang tak bisa lagi ditawar-tawar.

Pernikahan adalah satu hal yang niscaya, atau minimalnya kebutuhan setiap insan. Sehingga statusnya akan menjadi WAJIB.

Wajib untuk dipenuhi manakala segala hal, termasuk puasa, tak mampu lagi menjadi penggantinya.

Pernikahan bukanlah perjuangan menundukan gunung yang tinggi. Sekalipun kerikil tajam yang menghadang sesekali, sama beratnya dengan medan pendakian. Tapi pernikahan adalah penyatuan potensi dua orang yang hidup saling mendukung. Pernikahan juga sumber ketenangan ketika jiwa tak lagi tersentuh nasihat, si pelengkap agamalah yang bahunya kita pinjam untuk berbagi cerita. Pernikahan memang membutuhkan kecukupan materi, tetapi sebelum menikah dua orang yang hidup terpisah akan membutuhkan dua kali lipat anggaran hidup. Dan pernikahan menyederhanakannya. Karena banyak hal bisa dilakukan bersama.

Pernikahan adalah pilihan untuk sebuah kecerdasan finansial.

Sejenak aku tersenyum pada diri, mengenang keangkuhan diri. Jika Yang Maha Membagikan Rejeki yang memerintahkan kita untuk menikah, mengapa harus berpikir bahwa kita akan dibiarkan-Nya mati kelaparan setelah menikah. Jika Dia Yang Paling Tahu tentang diri kita saja menyediakan pernikahan agar selamat dari zina, kenapa kita merasa tak membuthkannya?

Pernikahan adalah ibadah, sunnah. Karenanya kita tak bisa berhenti pada kata “INGIN”. Ada kesungguhan niat yang harus lurus. Ada ilmu yang harus selalu ditingkatkan seiring waktu. Ada jalan rejeki yang harus selalu diupayakan. Agar ibadah kita menjadi spesial dihadapan-Nya.

Sedangkan mendaki gunung bukanlah kebutuhan yang pasti menghampiri kita sebagai manusia. Statusnya tak akan menjadi WAJIB apalagi darurat untuk dipenuhi, walaupun hasrat untuk menaklukan sebuah puncak yang tinggi menggantung di kepala.

Pendakian gunung adalah seni mengenal Illahi. Seni untuk mengikis kesombongan hati.

Sumber : http://biofillimuslim.wordpress.com/2008/10/11/pernikahan-dan-perjalanan-mendaki-gunung/

Ketika Tersesat di Gunung

Himatekom.Net
Dokter ahli bedah mayat yang akrab dipanggil dokter Cico ini berpendapat, mi instan sangat cepat menarik cairan tubuh. Padahal, pendaki gunung harus mengirit air yang ada di dalam tubuhnya masing-masing. Akibat kekurangan cairan, pendaki kerap menjadi kehilangan cara berpikir dan salah mengambil keputusan hingga menyebabkan pendaki-pendaki tersesat.
"Produk mi instan memang tidak salah, tetapi manusia dalam hal ini pendaki gunung sendirilah yang salah memanfaatkannya. Kalau sekadar camping beberapa hari, mi instan memang sangat praktis untuk mencegah lapar. Tetapi, bukan untuk bekal naik gunung yang bisa memakan waktu berhari-hari, " jelas Cico, yang sejak tahun 1990 menjadi dosen Fakultas Kedokteran bidang Forensik UKI Jakarta.


Karena asyiknya bergelut dengan masalah kecelakaan gunung ini, dokter yang masih lajang kelahiran Jakarta ini mengatakan, siapa pun akan mengakui bahwa tim Search and Rescue (SAR) Indonesia punya kemampuan menemukan korban-korban di gunung, baik yang masih hidup maupun yang tewas. Namun, setelah korban ditemukan, mereka bingung menghadapi korban ini. Bahkan, luka-luka pun sering diabaikan.

KEPADA para pendaki Indonesia, Cico yang baru saja merampungkan pelatihan di Miami, Amerika Serikat, untuk membuat standardisasi pertolongan pertama kecelakaan gunung ini kerap mengingatkan, jika tersesat di gunung, yang dibutuhkan bukan hanya makanan, tetapi juga ketenangan, pertimbangkan stamina, dan berpikir jernih.


Cico menjelaskan, kita boleh nyasar, sebab dengan tersesat akan menambah pengalaman. Lalu, menembus jalan sesat itu harus dilakukan, sebab kita mempunyai pengetahuan dan keterampilan. Namun, mati jangan sampai, sebelum kita memanfaatkan akal pengetahuan dan keterampilan kita.

"Jadi, begitu hilang, pendaki gunung seharusnya memiliki tekad dasar berupa kemauan untuk hidup, bukan sekadar tekad bagaimana meloloskan diri dari lubang ketersesatan, " ujarnya.

Ia mencatat, hampir 80 persen pencinta alam mati di gunung dalam posisi istirahat. Karena sewaktu lelah, pendaki itu tidur dengan badan yang tidak terisolasi dan cuaca sekeliling lebih rendah. Akhirnya, cuaca itu mempengaruhi suhu tubuh hingga menyebabkan tingkat kesadaran menurun drastis. Lalu, beristirahat selamanya. Mati.

Kelemahan pendaki gunung Indonesia adalah sikap kurang koreksi diri terhadap kecelakaan sekecil apa pun. Mereka sering memandang diri sebagai orang kuat. Contoh paling gampang, kalau kita bermain di air. Sejago apa pun kita berenang, alat pelindung tetap harus digunakan. Begitu pula pendaki yang kerap naik-turun gunung. "Matinya sepele, akibat lelah, dia nyasar sampai kedinginan," ujar pengamat kecelakaan gunung ini. Model yang kerap dipakai, jelasnya, adalah jika cedera, kita masih mengatakan untung tidak mati.

SEKITAR 90 persen, kata Cico, kecelakaan gunung itu disebabkan oleh kurangnya sikap antisipasi pendaki. Sebagai kaum muda, kita sulit membedakan antara antusiasme dan keselamatan. Kedua faktor ini memiliki garis tipis sekali. Antusias berarti keinginan melakukan kegiatan di alam bebas, tanpa memperhatikan lagi faktor keselamatan. Sedangkan, keselamatan jiwa yang seharusnya diperjuangkan dalam kegiatan pendakian justru dianggap remeh.

Hal itu pun dialaminya sendiri, ketika Cico dinyatakan hilang sedikitnya tiga kali berturut-turut di gunung yang berbeda di Jawa Tengah. "Setahun sekali hilang," ujar Cico, yang baru saja mengadakan studi banding di negara-negara ASEAN.

Tahun 1977, Cico dinyatakan hilang di Gunung Ungaran. Gara-gara ingin mencari air untuk menolong teman-temannya, Cico yang waktu itu juga sudah merasa lelah, tiba-tiba terpeleset hingga terperosok ke jurang. "Untung, waktu itu nyangsang di pepohonan, meskipun sempat tidak sadarkan diri," kenang Cico, begitu sadar dan beristirahat sebentar, Cico berhasil menemukan senternya. Kemudian, dia ingat teori pendakian yang diajarkan di kampus. Ia tidak lekas turun, melainkan kembali mendaki untuk mencari tanah lapang agar mudah memperoleh orientasi langkah selanjutnya. Kemudian, nyala lampu senternya "dimainkan" untuk menunjukkan kepada penduduk sekitar bahwa dirinya butuh pertolongan.

Lagi-lagi dia beruntung. Sewaktu mengirim sinyal lampu senter, rombongan Pramuka mampu membacanya dan segera memberikan pertolongan. "Maka selamatlah saya," ujarnya.

Pada tahun 1978, Cico pun hilang selama lima hari di Gunung Sumbing. Waktu itu, Cico bersama kawan-kawannya naik dari daerah Garum dan berencana turun melalui Bangsri. Sebagai pemula, ia mengakui, kehilangannya itu akibat ulahnya sendiri. Ia tersesat sendirian ketika hendak menyusul kawan-kawannya yang sudah mendaki lebih dulu.

Karena sendirian, kata Cico, bekal makanan diirit-irit dalam pendakian itu. "Saya hanya makan pakis, umbi-umbian, dan akar alang-alang. Minumnya, saya menggunakan kain kasa steril dan sapu tangan yang sudah diletakkan di atas rerumputan," jelas Cico. Namun, ia tak lupa meninggalkan tanda-tanda dengan menggunakan batu atau tumbuh-tumbuhan setiap melalui jalan pendakian itu. Harapannya, ada tim SAR atau orang yang tetap mencarinya.

Tahun berikutnya, Cico hilang di Gunung Ciremai selama tiga hari tiga malam. Waktu itu, Cico mendaki bersama empat kawannya. Usai pendakian, mereka tersesat. Cico mengingatkan, sebaiknya kita kembali naik, agar bisa memiliki orientasi lapangan. "Tetapi, teman-teman saya bilang, ah... tanggung, kita jalan turun terus saja. Jalan menurun itu pasti ke desa," kata Cico menirukan omongan teman-temannya.

Ternyata, betul dugaan Cico. Jalan menurun belum tentu menuju desa, tetapi justru menyebabkan kita terjebak di lembah. Mereka tersesat di lembah tak berujung yang sulit untuk melakukan orientasi.

Karena sudah larut malam, mereka pun akhirnya mendekam di lembah itu. Pagi harinya, mereka kembali mendaki untuk mencari dataran tinggi. Dari sanalah, Cico melihat petak sawah yang tentu mengindikasikan adanya kehidupan. Lalu, ia mengukur dengan kompas dan alat pengukur ketinggian seadanya, barulah melangkah.

Hingga kini, Cico merasa prihatin, karena dokter-dokter yang memiliki panggilan pertolongan pertama atas kecelakaan di gunung sangat sedikit. Andaikan ada kadernya, itu pun kebanyakan wanita. Ketika dokter wanita itu mulai berkeluarga, sayangnya mereka menghentikan panggilan sebagai dokter kecelakaan gunung ini.

Cico berharap, dokter-dokter Indonesia sekali-kali turun ke lapangan seperti begini.

Sumber : mapalista dot or dot id

Kamis, Februari 05, 2009

Sahabat, Pasir, Batu

Gurun yang akan kita lewati masih panjang
Ketika tak sengaja aku menumpahkan air terakhir kita
Wajarku, saat kau menampar pipiku lalu mencaci
Lalu..........
Aku menulis di atas pasir.....
"Hari ini sahabatku menampar pipiku"
Berharap sakitku segera hilang tersapu angin.

Panas semakin menjadi dan tubuhku semakin lemah
Kau bawa aku dengan sisa tenagamu
Hingga kita menemukan genangan air itu
Lalu.........
Aku menulis di atas batu.....
"Hari ini sahabatku menyelamatkan nyawaku"
Berharap namanya abadi dalam hidupku.

Selasa, Februari 03, 2009

garwo ,... sigarane nyowo

Ketika Tuhan menciptakan wanita, .

Malaikat datang dan bertanya

“Mengapa begitu lama, Tuhan?”

Tuhan menjawab

“Sudahkah engkau lihat semua detail yang Saya buat untuk menciptakan mereka?”

“Kedua tangan ini harus bisa dibersihkan, tetapi bahannya bukan dari plastik. Setidaknya terdiri dari 200 bagian yang bisa digerakkan dan berfungsi baik untuk segala jenis makanan. Mampu menjaga banyak anak pada saat yang bersamaan. Punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan keterpurukan... dan semua dilakukannya cukup dengan dua tangan ini.”

Malaikat itu takjub

“Hanya dengan dua tangan?? Impossible!”

“Dan itu model standard?!”

“Sudahlah Tuhan, cukup dulu untuk hari ini, besok kita lanjutkan lagi untuk menyempurnakannya.”

“Oh tidak, Saya akan menyelesaikan ciptaan ini, karena ini adalah ci
ptaan favorit Saya.”

“Oh iya, dia juga mampu menyembuhkan dirinya sendiri dan bisa bekerja 18 jam sehari.”

Malaikat mendekat dan mengamati bentuk wanita ciptaan Tuhan itu

“Tapi Engkau membuatnya begitu lembut Tuhan?”

“Yah.. Saya membuatnya lembut. Tapi kau belum bisa bayangkan kekuatan yang Saya berikan agar mereka dapat mengatasi banyak hal yang luar biasa.”

“Dia bisa berpikir?” tanya Malaikat

Tuhan menjawab,


“Tidak hanya berpikir, dia mampu bernegosiasi.”

Malaikat menyentuh dagunya...

“Tuhan, Engkau buat ciptaan ini kelihatan begitu lelah dan rapuh! Se
olah terlalu banyak beban baginya.”

Itu bukan lelah atau rapuh, itu air mata.” Koreksi Tuhan

“Untuk apa?” tanya Malaikat

Tuhan melanjutkan,

“Air mata adalah salah satu cara dia mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan dan kebanggaan.”

“Luar biasa, Engkau jenius Tuhan.” kata Malaikat

“Engkau memikirkan segala sesuatunya, wanita ciptaan-Mu ini aka
n sungguh menakjubkan!”

“Ya mestiii....! wanita ini akan mempunyai kekuatan memesona laki-laki. Dia bahkan dapat mengatasi beban melebihi laki-laki. Dia mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri. Dia mampu tersenyum bahkan saat hatinya menjerit. Mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu, bahkan tertawa saat ketakutan.”

“Dia berkorban demi orang yang dicintainya. Mampu berdiri melawan ketidakadilan. Dia tidak menolak kalau melihat yang lebih baik. Dia menerjunkan diri untuk
keluarganya. Dia membawa temannya yang sakit untuk berobat.”

“Cintanya tanpa syarat.”

“Dia menangis saat melihat anaknya adalah pemenang. Dia girang dan bersorak saat melihat kawannya tertawa. Dia begitu bahagia mendengar kelahiran.”

“Hatinya begitu sedih mendengar berita sakit dan kematian. Tetapi dia selalu punya kekuatan untuk mengatasi hidup. Dia tahu bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menyembuhkan luka.”

“Hanya
ada satu hal yang kurang dari wanita:
Dia kadang lupa betapa berharganya dia...