Sabtu, Februari 07, 2009

Pernikahan dan Perjalan Mendaki Gunung

Aku sempat berpikir bahwa pernikahan tak ubahnya seperti perjalanan seseorang untuk mendaki gunung. Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum mengatakan “siap” menundukan puncak gunung yang angkuh. Seperti juga pernikahan, seseorang tidak bisa begitu saja mengatakan “siap” menikah sebelum banyak hal bisa ia persiapkan.

Pola pikirku tentang pernikahan, awalnya cukup sulit untuk diajak berdamai dengan konsep yang digembar-gemborkan oleh para Da’i. Bagiku pernikahan tak bisa dilakukan sebelum memiliki ilmu yang memadai, sebelum memiliki kemapanan materi yang akan mencegah kita menjadi beban ekonomi baru bagi keluarga. Jalan pikiranku saat itu sukar ditembus, sekalipun oleh mereka yang sudah bersahabat dekat denganku.

Aku sering bertanya dalam hati, kenapa ada begitu banyak orang yang ingin menikah dengan status sebagai mahasiswa?

Pun, aku sering tak habis pikir ketika ada orang yang menggembar-gemborkan untuk segera menikah di usia sangat muda. Bagiku saat itu, pernikahan seringkali mempensiunkan para aktivis dari aktivitasnya sebelum menikah. Pernikahan seringkali membuat seorang remaja harapan bangsa terhambat untuk menyelesaikan studi formal. Sehingga tak dapat berkontribusi terhadap kemajuan bangsa. Pernikahan tanpa kecukupan materi juga hanya akan menambah deretan panjang masyarakat miskin dan generasi busung lapar yang tak sanggup dibiayai oleh kedua orangtuannya. Karena tadi, tidak cukup materi.

Semua pemikiran itu, cukup membuatku agak malas membicarakan pernikahan dengan status belum mapan (baca: belum berpenghasilan). Yaa. Seperti itulah. Aku sering membandingkan dengan negara-negara maju yang sebagian besar penduduknya non muslim, bisa maju dan berkembang pesat dalam bidang IPTEK. Coba saja lihat, usia kalangan mereka saat menikah!

Jika kita selalu membahas nikah…nikah..dan nikah….siapa yang akan mengejar ketertinggalan itu? Karena pernikahan adalah tanggung jawab baru yang tidak bisa dipandang sepele.

Bagiku pernikaha akan menambah aktivitas baru yang mungkin berat. Khususnya bagi wanita, tentu akan sangat berat meninggalkan rumah dengan kondisi serba tak terurus. Mau diserahkan pada siapa tugas pendidikan tunas-tunas baru (anak-anak kita) jika kita sendiri sibuk kuliah, rapat, dan aktivitas lainnya???

Berkali-kali aku mencoba berdiskusi dengan orang. Berkali-kali pula aku tak menemukan jawaban yang meyakinkan. Aku nyaris tak tergoyahkan dari kalimat-kalimat seperti ini,

“pernikahan itu tidak jauh dengan pendakian ke sebuah gunug. Siapapun yang akan memulai pendakian harus sudah menyiapkan beberapa hal agar dalam pendakiannya ia tidak mengalami kesulitan yang berarti.”

“orang harus tahu ilmu mendaki gunung yang tepat, dari mulai navigasi, cara survival ala pecinta alam, dan tentu saja perbekalan yang cukup sebelum mendaki seperti kondisi tubuh yang fit dan makanan untuk makan beberapa hari”

“orang yang nekat mendaki gunung dengan hanya berbekal kata INGIN, akan menghadapi risiko yang amat tinggi dalam perjalanannya. Jika seseorang yang tidak terlatih menaiki puncak Jayawijaya dengan hanya berbekal kekaguman akan keindahan Jayawijaya, hal itu sama saja dengan merencanakan kematian dengan cara yang konyol!!”

“Ok, dia sudah menyiapkan makanan. Ok, dia pergi dengan tubuh yang fit. Tapi berapa lama?? Tanpa ilmu dan kesabaran yang kuat, semua itu akan menjadi sebuah perjalanan menyambut kematian. Sebab, bisa saja dalam perjalanan cadangan makanan habis. Tanpa pengetahuan untuk membedakan mana jenis tanaman layak makan, beracun, dan tanaman obat…apa bisa mempertahankan hidup hingga selamat kembali ke kaki gunung?”

“Sekarang, ada orang yang tahu tentang jenis makanan alami di pegunungan, tahu cara survival di sana, tapi apabila tidak memahami navigasi……Mau berapa lama ia berputar-putar mengitari hutan di pegunungan untuk sekedar mencari jalan ke sungai atau bahkan jalan pulang?”

Aku mematri pemikiran ini selama bertahun-tahun. Bertahan dengan ego yang tak tergoyahkan. Tanpa sadar, hati sudah sangat ringkih untuk selalu menjadi tempat bersembunyi. Menghindar dari kesejatian fitrah diri, sebagai manusia, sebagai abdi.

Tapi, bukankah Allah Maha Pemberi Petunjuk…..Ia keluarkan seseorang dari kegelapan. Ia tuntun siapapun yang dikehendaki-Nya ke jalan yang benar. Dan aku bersyukur menjadi salah satu diantara yang beruntung mendapat petunjuk-Nya.

Bukan lewat mimpi. Bukan lewat perenungan panjang. Hanya sebuah pertemuan yang rutin aku hadiri. Pertemuan mingguan dengan seorang guru ngaji. Lewatnya lah aku mendapat jalan terang atas segala ketidakpastian selama ini.

Beliau bertutur tentang pernikahan, ketika salah seorang kawan mengungkapakan pandangannya yang nyaris sama denganku. Lalu, Beliau pun menjawab.

“Pernikahan itu tidak harus menunggu segalanya siap. Tidak harus menunggu telah mapan (cukup harta). Karena pernikahan itu menjadi wajib manakala diri sudah tak mampu lagi menyelamatkan dari zina. Kalaupun belum mapan, Allah yang akan memapankan. Kalau belum berilmu, ilmu itu bisa dicari ketika telah menikah. Maka ketika ada konsep bahwa menikah itu hanya boleh dilakukan ketika sudah siap materi, siap ilmu, dan sebagainya…itu salah besar. Siapa yang menjamin bahwa seseorang bisa segera mapan sesuai harapannya sebelum menikah?“

Dalam hati aku nyengir. Dengan sedikit malu aku harus menyadari bahwa pernikahan tak bisa disejajarkan dengan pendakian sebuah gunung terjal, sekalipun pernikahan itu harus selalu dibekali dengan banyak hal. Di antara keduanya ada perbedaan prinsip yang tak bisa lagi ditawar-tawar.

Pernikahan adalah satu hal yang niscaya, atau minimalnya kebutuhan setiap insan. Sehingga statusnya akan menjadi WAJIB.

Wajib untuk dipenuhi manakala segala hal, termasuk puasa, tak mampu lagi menjadi penggantinya.

Pernikahan bukanlah perjuangan menundukan gunung yang tinggi. Sekalipun kerikil tajam yang menghadang sesekali, sama beratnya dengan medan pendakian. Tapi pernikahan adalah penyatuan potensi dua orang yang hidup saling mendukung. Pernikahan juga sumber ketenangan ketika jiwa tak lagi tersentuh nasihat, si pelengkap agamalah yang bahunya kita pinjam untuk berbagi cerita. Pernikahan memang membutuhkan kecukupan materi, tetapi sebelum menikah dua orang yang hidup terpisah akan membutuhkan dua kali lipat anggaran hidup. Dan pernikahan menyederhanakannya. Karena banyak hal bisa dilakukan bersama.

Pernikahan adalah pilihan untuk sebuah kecerdasan finansial.

Sejenak aku tersenyum pada diri, mengenang keangkuhan diri. Jika Yang Maha Membagikan Rejeki yang memerintahkan kita untuk menikah, mengapa harus berpikir bahwa kita akan dibiarkan-Nya mati kelaparan setelah menikah. Jika Dia Yang Paling Tahu tentang diri kita saja menyediakan pernikahan agar selamat dari zina, kenapa kita merasa tak membuthkannya?

Pernikahan adalah ibadah, sunnah. Karenanya kita tak bisa berhenti pada kata “INGIN”. Ada kesungguhan niat yang harus lurus. Ada ilmu yang harus selalu ditingkatkan seiring waktu. Ada jalan rejeki yang harus selalu diupayakan. Agar ibadah kita menjadi spesial dihadapan-Nya.

Sedangkan mendaki gunung bukanlah kebutuhan yang pasti menghampiri kita sebagai manusia. Statusnya tak akan menjadi WAJIB apalagi darurat untuk dipenuhi, walaupun hasrat untuk menaklukan sebuah puncak yang tinggi menggantung di kepala.

Pendakian gunung adalah seni mengenal Illahi. Seni untuk mengikis kesombongan hati.

Sumber : http://biofillimuslim.wordpress.com/2008/10/11/pernikahan-dan-perjalanan-mendaki-gunung/

1 komentar:

  1. wah ini ilmu nih..
    padahal aku juga pnya pikiran yang sama dengan anda tentang pernikahan ...
    tenkyu bgt atas ilmunya ..

    BalasHapus

Trimakasih sudah mau Komentar